Introduksi
Mungkinkah manusia, yang “hari-harinya seperti rumput” ini (Mzm. 103:15) mengasihi Allah? Mungkinkah, yang “dicipta” mengasihi Penciptanya? Dengan lebih spesifik, mungkinkah Anda (orang Kristen) mengasihi Allah? Jika tidak, bagaimana dengan perintah “kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu” (Mat. 22:37)? Jika mungkin, sampai sejauh mana dan bagaimana? Anda harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam realitas kehidupan sehari-hari! Sebelum Anda menjawabnya, mari kita bersama-sama merenungkan kasih Allah terlebih dahulu. Setelah itu, Anda dapat menggunakan beberapa petunjuk praktis untuk mulai menyusun jawaban Anda.
Pertanyaan yang mengganggu?
Pertanyaan yang mengganggu ini tentu muncul dalam momen-momen tertentu. Ketika Anda berbuat dosa, misalnya, Anda tentu merasa bersalah dan dalam sekejap pertanyaan itu akan muncul. Dalam keadaan yang lebih positif, Anda mungkin “iri” ketika melihat orang lain tampak lebih kudus dari Anda. Anda melihat rekan pelayanan Anda mengikuti berbagai kegiatan rohani yang tidak Anda ikuti. Anda mungkin bertanya sesaat setelah menolak ajakan untuk hadir dalam persekutuan pemuda. Anda mungkin bergumul dengan jumlah persembahan yang akan Anda berikan. Jujurlah! Banyak sekali kondisi yang membuat Anda bertanya apakah Anda sungguh mengasihi Allah dengan pantas.
Pertanyaan ini juga mengganggu jika tidak ada jawaban lain selain tidak mungkin. Anda akan bergumul dengan pertanyaan yang jauh lebih besar: apakah Anda sungguh mengenal Yesus? Bukankah Yesus mengatakan bahwa “jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti perintah-perintah-Ku” (Yoh. 14:15) dan bahwa perintah-Nya adalah “kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah perintah yang utama dan yang pertama” (Mat. 22:37-38)? Jadi, pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang krusial dan Anda harus menjawabnya sebagai seorang Kristen yang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
Pertanyaan ini memerlukan jawaban yang konkret, sebagaimana kasih itu sendiri adalah konkret. Ekspresi kasih yang konkret itu dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal cinta, misalnya, baris kelima puisi “How Do I Love Thee? (Sonnet 43)” gubahan Elizabeth B. Browning mengungkapkan, “I love thee to the level of every day’s.”[1] Bukankah jawaban ini yang kita dambakan berkenaan dengan mengasihi Allah? Jika Anda berpikir bahwa cukup untuk mengasihi Allah dengan segala konsep theologis di kepala Anda, Anda sedang bersikap “dingin” terhadap kasih yang telah Allah nyatakan kepada Anda! Kita harus merenungkan kasih Allah yang nyata itu dan memahami kuasa kasih-Nya.
Kasih untuk mengasihi
Dalam Confessions, Agustinus memberikan suatu ungkapan yang jujur dan penuh penghiburan:
Too late loved I Thee, O Thou Beauty of ancient days, yet ever new! Too late I loved Thee! And behold, Thou wert within me and I was outside, and there I searched for Thee; deformed I, rushing amid those beautiful forms, which Thou hadst made. Thou wert with me, but I was not with Thee. Things held me far from Thee, which, unless they were in Thee, would not exist at all. Thou calledst, and shoutest, and burstest, my deafness. Thou flashest, shonest, and scatterest my blindness. Thou breathest odours, and I drew in breath and pant for Thee. I tasted, and hunger and thirst. Thou touchest me, and I burned for Thy peace.[2]
Kalimat pertama hingga kelima menggambarkan kondisi kita yang sesungguhnya. Begitu banyak hal di dunia ini yang menyita kasih kita yang seharusnya diberikan kepada Allah tanpa kompromi. Kita terlambat mengasihi Allah, yang secara tegas berarti kita pernah berada di dalam keadaan tidak mengasihi Allah. Sedangkan kalimat keenam hingga kedelapan menggambarkan perubahan keadaan kita yang radikal. Ketika kita mulai mengecap kasih Allah itu, kita dipenuhi dengan kerinduan yang meluap-luap untuk mengalami kasih-Nya lagi dan lagi: “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan siapa yang tetap tinggal di dalam kasih, ia tetap tinggal di dalam Allah.” (1 Yohanes 4:16) Kita menemukan dua aspek penting: keadaan kita yang tidak mungkin mengasihi Allah dan keadaan yang diubahkan untuk mengasihi Allah.
Pada aspek pertama, kita perlu memahami Allah yang berdaulat untuk menyatakan murka-Nya (Rm. 1:18-19). Kita harus mengingat kondisi kita yang sebenarnya sebagai seteru Allah (Rm. 5:10). Kita tidak mungkin mengenal kasih Allah di dalam keadaan bermusuhan dengan-Nya. Kita memang memiliki kecenderungan untuk menjadi musuh-musuh Allah. Ketika Allah datang dengan kasih, kita mengebaskan debu kelaliman dan pergi meninggalkan Dia. Kita harus diperdamaikan dengan Allah yang bukan saja pantas murka tetapi berhak untuk membinasakan kita karena dosa-dosa kita. Kita manusia celaka! (Rm. 7:24) Dengan mengetahui kondisi kita sebenarnya yang tidak mungkin mengasihi Allah, kita memiliki petunjuk untuk memahami nilai kasih Allah melalui pengorbanan Anak-Nya (Yoh. 3:16).
Pada aspek yang kedua, kita menemukan bahwa kasih Allah ini menjadi satu-satunya kuasa yang memadai bagi kita untuk mengasihi-Nya. Tanpa kasih Allah, kita tidak mungkin mengasihi Allah. Dengan kasih-Nya, kita tidak lagi hidup sebagai orang-orang berdosa dengan agenda duniawi. Kita memiliki agenda baru untuk mengasihi Allah dan sesama kita di dunia ini. Gerald Bray mendeskripsikannya secara konkret: “Kasih Allah bukanlah pengalaman yang samar-samar, berniat baik, atau tidak pasti yang dapat kita bagikan atau tidak mau kita bagikan seturut pilihan kita; sebaliknya, kasih Allah adalah pesan yang mengubah hidup yang harus kita sebarkan dikarenakan kasih kita kepada-Nya dan dikarenakan kasih-Nya kepada dunia ciptaan.”[3] Sebagai orang-orang Kristen, kita memiliki kabar yang harus diberitakan ke seluruh dunia. Dengan memberitakan karya keselamatan Allah, kita sedang berpartisipasi sebagai instrumen Allah dalam menyatakan kasih-Nya kepada dunia ini. Partisipasi ini merupakan salah satu wujud nyata kasih kita kepada Allah. Melalui kasih Allah, kita dipanggil untuk berpartisipasi secara aktif dalam ekspansi kasih-Nya ke seluruh ujung dunia. Kita mengasihi Allah karena kita telah mengalami kasih-Nya.
Anda tidak bisa tidak mengasihi Allah!
Mengasihi Allah karena mengalami kasih-Nya merupakan pengalaman yang khas dan hanya terjadi pada orang Kristen. Anda tidak dapat menemukan relasi kasih yang sedemikian intim antara manusia dengan Allah di luar Yesus Kristus karena “dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yoh. 4:9-10, TB2 LAI).
Allah mengizinkan Anda dan saya untuk mengasihi-Nya dalam pergumulan di dunia ini. Allah memberikan ruang kepada kita untuk mengekspresikan kasih kita kepada Allah secara natural dan orisinal.
Tetapi, bagaimana dengan dosa-dosa yang Anda dan saya perbuat selama hidup di dunia ini? Apakah dosa itu membatalkan kasih kita kepada Allah? Tentu tidak! Kita mengasihi Allah bukan karena kita tidak berdosa. Kita mengasihi Allah karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita yang berdosa ini. Kasih kita kepada Allah bukanlah sebuah kekudusan diri yang kita pamerkan di hadapan Allah. Allah memang mengizinkan kita untuk hidup di dunia dengan segala daya tariknya dan terkadang kita jatuh ke dalam jerat dunia ini. Tetapi, inilah keindahannya! Allah mengizinkan Anda dan saya untuk mengasihi-Nya dalam pergumulan di dunia ini. Allah memberikan ruang kepada kita untuk mengekspresikan kasih kita kepada Allah secara natural dan orisinal. Kita dapat mengasihi Allah meskipun dunia membenci kita. Kita dapat mengasihi Allah meskipun bencana alam menimpa kita. Kita dapat mengasihi Allah sekalipun kita tidak menikmati segala penghiburan dari dunia ini. Kasih itu dengan sendirinya akan membuat Anda semakin benci terhadap dosa. Anda tidak lagi berdosa bukan karena takut dengan hukuman dan konsekuensinya. Anda tidak mau berbuat dosa karena Anda mengasihi Allah!
Allah juga memberikan kesempatan bagi kita untuk mengasihi-Nya sebagai sesama anggota tubuh Kristus. Di dalam gereja-Nya, kita memiliki lebih banyak kesempatan untuk melayani Allah bersama-sama melalui berbagai macam pelayanan. Gereja adalah wadah di mana Anda dapat bergumul secara langsung untuk mengasihi Allah secara komunal. Bukankah hal ini merupakan kesempatan yang indah? Anda tidak hanya memiliki kesempatan untuk mengasihi Allah secara personal, tetapi juga mengasihi Allah secara komunal sebagai umat-Nya. Anda tidak harus menyusun agenda-agenda baru untuk mengasihi Allah. Pergilah ke gereja, dan Anda akan segera mendapati begitu banyak sarana untuk mengasihi Allah. Dengan demikian, tidak ada alasan apa pun bagi kita untuk tidak mengasihi Allah. Allah berkenan untuk dikasihi, dan Ia mengizinkan kita untuk bergaul secara personal maupun komunal dalam mengasihi-Nya.
Kita kembali pada pertanyaan pertama: mungkinkah Anda mengasihi Allah? Pembahasan dalam artikel ini tentu mengarahkan Anda pada jawaban “mungkin”. Firman Tuhan juga telah menyatakan skenario jawaban ini dengan jelas (1Yoh. 5:1-5 dan Yoh.14:15-21). Jawaban “mungkin” menyiratkan adanya jalan atau cara untuk mengasihi Allah. Tetapi, Anda juga perlu menjawab pertanyaan ini secara personal. Anda tidak bisa menjawab pertanyaan ini hanya dengan pengetahuan theologi dan biblika di dalam pikiran. Anda harus menjawabnya dalam realitas kehidupan sehari-hari Anda di dunia ini, dan secara khusus di gereja. Kasih Anda kepada Allah merupakan respons yang tidak terhindarkan dari kasih Allah kepada Anda. Berdoalah kiranya Roh Kudus menuntun Anda untuk mengalami kasih Allah dan mengasihi Allah. Nikmatilah kasih-Nya, dan kasihilah Dia sebagai Allah atas rencanamu, atas segala milikmu, dan atas seluruh hidupmu!
Victor Hansen Kristanto
Mahasiswa STTRII
[1] How do I love thee? Let me count the ways (Sonnets from the Portuguese 43) Poem Summary and Analysis | LitCharts
[2] Augustine, The Confessions of St. Augustine. (Books One to Ten), ed. Paul M. Bechtel (Chicago, Illinois: Moody Publishers, 2007). p. 273.
[3] Gerald Bray, Allah adalah Kasih: Theologi Biblikal dan Sistematis, ed. Irwan Tjulianto, terj. Soemitro Onggosandojo (Surabaya: Penerbit Momentum, 2020), 96.